ANGGARDAYA
Potensi kekayaan budaya yang berupa tradisi sangatlah banyak di suatu daerah. Bahkan untuk daerah yang sangat berdekatan sekalipun dapat saja berbeda. Meskipun berada dalam satu wilayah kabupaten, namun belum tentu antara satu daerah memiliki tradisi dan upacara ritual yang sama dengan daerah di sekitarnya.
Salah satu tradisi yang hingga kini masih sangat terjaga dengan baik bahkan justru semakin menyebar merambah ke wilayah-wilayah disekitarnya adalah tradisi kupatan di Kecamatan Durenan Kabupaten Trenggalek. Seperti kabupaten-kabupaten lain di daerah Propinsi Jawa Timur, Kabupaten Trenggalek juga termasuk salah satu kabupaten dengan pengaruh agama Islam yang sangat kental.
Hal tersebut selain dapat kita lihat saat ini dengan bukti banyak terdapat pondok pesantren dan juga berbagai peninggalan lain yang berkaitan dengan Islam. Salah satu dalam hal kebudayaan yang masih terdapat pengaruh Islam adalah tradisi kupatan yang telah berlangsung sejak lama. Tradisi ini sangat erat kaitannya dengan hari istimewa untuk umat Islam sendiri, yaitu Idul Fitri.
Idul Fitri adalah hari raya umat Islam yang jatuh pada tanggal 1 Syawal pada penanggalan Hijriyah. Karena penentuan 1 Syawal yang berdasarkan peredaran bulan tersebut, maka Idul Fitri atau Hari Raya Puasa jatuh pada tanggal yang berbeda-beda setiap tahunnya apabila dilihat dari penanggalan Masehi. Cara menentukan 1 Syawal juga bervariasi, sehingga boleh jadi ada sebagian umat Islam yang merayakannya pada tanggal Masehi yang berbeda. Pada tanggal 1Syawal, umat Islam berkumpul pada pagi hari dan menyelenggarakan Salat Ied bersama-sama di masjid-masjid , di tanah lapang, atau bahkan jalan raya (terutama di kota besar) apabila area ibadahnya tidak cukup menampung jamaah.
Begitupula yang terjadi di sebuah desa terpencil bernama Desa Durenan Kecamatan Durenan Kabupaten Trenggalek JawaTimur yang terkenal dengan oleh – oleh khasnya ( Alen – Alen, Manco, Tempe Kripik dan Nasi Tiwul –nya), namun ada sebuah keunikan pada hari raya Idul Fitri di desa tersebut. Pada tanggal 1 Syawal desa tersebut malah kelihatan sepi bak kota mati, tak ada kegiatan apapun seperti di kota anda seperti silaturahmi kepada warga sekitar, begitu pula hari ke-2 dan ke-3. Baru hari ke-4, 5, dan 6 sudah mulai kelihatan ada beberapa warga yang beraktivitas seperti berdagang dan bertani.
Tak Cuma itu, warga desa juga kebanyakan pada awal syawal tersebut melakukan ibadah puasa syawal selama satu minggu. Tentu nya setelah tanggal 1 syawal yang mana pada hari tersebut di haramkan berpuasa. Ada satu pertanyaan. Ada apakah gerangan? Apakah warga di daerah tersebut tidak merayakan hari raya Idul Fitri ? Ternyata warga masyarakat di Durenan juga turut serta merayakannya, namun memang hari pelaksanaannya yang berbeda dengan masyarakat lain pada umumnya.
Memang cocok sebutan “Durenan Kota Sejuta Ketupat” karena di salah satu kecamatan Kabupaten Trenggalek yang terkenal dengan kripik tempenya ini, tradisi lebaran ketupat dilakukan pada 8 lebaran Idul Fitri atau setelah menjalankan puasa sunnah selama 6 hari. Yang menarik pada saat kupatan setiap rumah menggelar open house dan menyediakan makanan berupa ketupat dengan aneka macam sayur bagi keluarga dan kerabatnya untuk bersilaturrahmi, Bukan hanya kerabat dan keluarga, bahkan pengunjung yang tak kenalpun, warga Durenan akan dengan senyum lebar menerima para pengunjung dengan niat menyambung tali silaturrahmi dan melengkapi hari kemenangan umat Islam tersebut. Tradisi kupatan sudah dilakukan secara turun temurun sehingga banyak saudara maupun keluarga yang dari luar Durenan lebih memilih untuk bersilaturahmi ketika lebaran ketupat. Sehingga pada lebaran ketujuh lah akan sangat terasa perbedaannya secara signifikan karena sangatlah ramai orang bersilaturahmi.
Menurutnya riwayat jaman dulu, tradisi ini berawal dari kebiasaan keluarga KH Abdul Mahsyir atau yang lebih akrab disebut dengan “Mbah Mesir” yang merupakan salah tokoh ulama terkenal di kecamatan Durenan, Mbah Mesir merupakan putra Kiai Yahudo, Slorok, Pacitan, yang masih keturunan Mangkubuwono III , salah seorang guru Pangeran Diponegoro. Konon pada waktu itu setiap sehabis hari raya Idul Fitri pertama , Mbah Mesir selalu di undang oleh bupati Trenggalek ke pendopo . Di situlah Mbah Mesir menjalankan puasa selama 6 hari berturut – turut dan setelah itu pulang ke kediamannya di Durenan. Sehabis pulang dari pendopo, mayarakat sekitar selalu sowan (bersilaturahmi ) ke rumah Mbah Mesir.
Dalam perkembangannya sekarang, ketika perayaan kupatan ini kemudian banyak bermunculan berbagai macam acara hiburan seperti misalnya pementasan musik, pengajian atau tausiyah, dan pawai. Kecamatan Durenan seketika itu menjadi sangat padat dan ramai. Banyak pos – pos yang menyediakan ketupat gratis. Baik untuk saudara maupun untuk orang yang sama sekali belum kenal. Biasanya pada saat inilah berbondong-bondong orang dari luar kota ingin sekali melihat dan merasakan suasana yang sangat unik ini. Selain dapat merasakan kekayaan kuliner khas masyarakat Durenan, wisatawan ini juga dapat menikmati suguhan berbagai acara pentas.
Sumber : Jtn Media Network
(Kemal Adam)
Sumber : JTN Media Network
JTN SUPORT BANK BRI An : PT.JATIM INTIPERKASA GLOBAL MEDIA, No. REK : 006501044064531